Minggu, 01 Maret 2015

Sejarah dan Perkembangan Batik Asli Indonesia





Batik adalah kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada suatu kain, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait. Pada tanggal 2 Oktober 2009 di Prancis UNESCO telah Menetapkan Batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Keinginan pemerintah dan para pihak yang terkait juga bangsa Indonesia dengan dikukuhkannya batik ini adalah memperkuat legitimasi Indonesia dalam pengembangan batik sebagai salah satu warisan budaya. Pemerintah Indonesia juga akhirnya menetapkan tanggal 2 Oktober menjadi Hari Batik Nasional dan mengajak masyarakat untuk memakai batik. Tentunya hal ini dilakukan sebagai wujud kebanggaan bangsa Indonesia terhadap batik yang telah mendapat pengakuan dunia dan menjadi warisan budaya yang patut dikembangkan dan juga sebagai bukti kebanggaan dan tetap melestarikan Batik.

Pemerintah ingin membuktikan bahwa batik adalah milik Indonesia yang kaya akan nilai budaya dan filosofi yang tinggi. Kepedulian pemerintah dalam memperjuangkan batik Indonesia tidak terlepas dari esensi cultural dan nilai historis batik Indonesia. Nilai budaya dari batik antara lain terkait dengan ritual pembuatan, ekspresi seni, simbolisme ragam hias dan identitas budaya daerah. Pembuatan batik di beberapa daerah yang diawali dengan ritual khusus bertujuan untuk memberikan estetika dan filosofi terhadap batik secara mendalam.

Taukah kamu Kata batik berasal dari mana? Batik berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: amba, yang bermakna 'menulis' dan titik,  yang bermakna 'titik'. Walaupun kata batik berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. J.L.A. Brandes, arkeolog Belanda, dan F.A. Sutjipto, sejarawan Indonesia, percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme, tetapi diketahui memiliki tradisi kuno membuat batik. G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu. Adapun detil ukiran kain yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita, arca dewi kebijaksanaan Buddhis dari Jawa Timur abad ke-13. 

Detil pakaian menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa yang dapat ditemukan kini. Hal ini menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat dengan canting telah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau bahkan lebih awal.

Pada legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin, menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan dia hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa. Kemudian keempat lembar kain tersebut ditafsirkan sebagai batik.

Sejarah Perkembangan Batik di Indonesia bermula dari kerajinan batik di Indonesia dikenal sejak zaman Majapahit dan masa penyebaran Islam. Batik pada mulanya hanya dibuat terbatas oleh kalangan keratin, pada awalnya batik hanya dipakai oleh raja dan keluarga serta pengikutnya. Oleh para pengikutnya inilah kemudian batik dibawa keluar keraton dan berkembang di masyarakat hingga saat ini. Berdasarkan sejarahnya, periode perkembangannya batik dapat dikelompokkan sebagai berikut :

Zaman Kerajaan Majapahit

Ilustrasi Zaman Majapahit



Batik merupakan salah satu bagian dari sejarah kerajaan Majapahit yang dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo merupakan daerah yang memiliki hubungan erat dengan kerajaan Majapahit pada masa itu. Perkembangan kegiatan pembatikan pada masa Kerajaan Majapahit berada di Tulung Agung. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit. Adipati Kalang adalah seorang pangeran yang jatuh cinta kepada adik kandungnya sendiri, putri Kembang Sore. Adipati kalang berniat untuk memperistri putri Kembang Sore, mendengar hal tersebut putri Kembang Sore melarikan diri, namun karena Adipati Kalang memiliki kesaktiaan sehingga Adipati Kalang dapat mengetahui dimanapun tempat putri Kembang Sore bersembunyi. Dalam pelariannya putri Kembang Sore bertemu dengan Lembu Peteng yang merupakan pangeran dari Kerajaan Majapahit. Karena kecantikan yang dimiliki oleh putri Kembang Sore membuat Lembu Peteng menjadi jatuh hati namun Lembu Peteng tidak dapat menggutarakan perasaannya karena Adipati Kalang selalu bersama dengan putri Kembang Sore. Meskipun demikian Lembu Peteng tidak menyerah. Adipati Kalang sebenarnya mengetahui kalau Lembu Peteng berusaha untuk mendekati putri Kembang Sore. Suatu hari Adipati Kalang mengundang Lembu Peteng untuk bertemu disuatu tempat. Pertemuan tersebut berujung pada pertarungan sengit yang berakhir dengan kematian Lembu Peteng. Tidak terima pangerannya dibunuh, kerajaan Majapahit melakukan aksi balasan yang dikenal dengan nama aksi polisionil dan dalam pertempuran tersebut Adipati Kalang tewas. Semenjak itu petugas, tentara kerajaan maupun keluarga kerajaan yang tinggal di Tulung Agung membawa kesenian batik ke wilayah mereka dan mulai membuat batik.


Zaman Penyebaran Islam                                                      

Ilustrasi Zaman Penyebaran Islam

Sejarah perbatikan di Indonesia juga memiliki hubungan erat dengan zaman penyebaran Islam di Indonesia. Salah satu wilayah yang menjadi tempat dalam penyebaran Islam adalah Ponorogo, Jawa Timur. Terdapat cerita bahwa diwilayah Batoro Katong ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit bernama Raden Katong, yang merupakan adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan Petilasan. Perkembangan selanjutnya, di Ponorogo yaitu di daerah Tegalsari, ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketata-negaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari di bidang sastra adalah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Keraton Solo. Pada masa ini, seni batik baru terbatas dalam lingkungan keraton. Putri Keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri, maka dibawalah ke Tegalsari, diikuti oleh pengiring-pengiringnya. Disamping itu, juga ada banyak keluarga Keraton Solo yang belajar di pesantren ini. Peristiwa inilah yang kemudian membawa seni batik keluar dari keraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi  yang telah  lulus dari pensantren tersebut akan kembali ke tengah masyarakat dan merekalah yang memiliki peran dalam menyumbangkan dharma batiknya ke dalam bidang-bidang kepamongan dan agama. Daerah perbatikan lama bisa kita lihat sekarang di daerah Kauman atau sekarang dikenal dengan nama Kepatihan Wetan. Dari daerah ini, penyebaran batik meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Pada zaman ini obat-obat yang dipakai dalam perbatikan ialah buatan dalam negeri sendiri, yaitu dari kayu-kayuan antara lain pohon tom, mengkudu dan  kayu tinggi. Sedangkan untuk bahan kain putihnya, juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia, kira-kira akhir abad ke-19. Pembuatan batik cap di Ponorogo, baru dikenal setelah perang dunia pertama dan dibawa oleh seorang China bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo pada awal abad ke-20, terkenal batiknya tersebut dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya mengapa pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap itu, maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap Mori Biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.



http://www.tempo.co/read/news/2013/10/02/110518313/ini-sejarah-panjang%20-batik-indonesia
https://htriwibowo.wordpress.com/2011/09/14/b-a-t-i-k/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar